Nurainiajeeng's Blog

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Sistem Informasi Berbasis Komputer/ Computer Based Information System (CBIS)

Suatu organisasi baik itu yang profit maupun non-profit untuk mencapai tujuan-tujuannya pastilah menemukan hambatan atau masalah, yang memerlukan solusi jalan keluarnya, memerlukan pemecahan masalahnya. Dalam memecahkan masalah ini para petinggi organisasi, baik itu seorang manajer, direktur, ahli maupun pemimpin organisasi tersebut perlu mengambil keputusan solusi apa yang tepat untuk menangani masalah yang ada. Banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika mengambil sebuah keputusan, seperti SDM organisasi, pengetahuan, kemampuan operasioanal, kekayaan (aset) organisasi, dan lain-lain yang semua itu merupakan data organisasi tersebut. Data-data yang ada tersebut diolah sedemikian rupa untuk menjadi sebuah informasi yang bermanfaat untuk organisasi tersebut, informasi dalam bentuk lisan maupun tertulis. Dalam mengolah data tersebut diperlukan suatu sistem yang terstruktur diperlukan bantuan teknologi seperti komputer untuk mempermudah kegiatan tersebut. oleh karena itu timbulah istilah “Sistem Informasi Berbasis Komputer”.

 Image

 Image

 

Sistem informasi berbasis komputer  adalah sistem pengolahan suatu data menjadi sebuah informasi yang berkualitas, tepat, cepat dan akurat sesuai dengan manajemen yang membutuhkannya dan dapat dipergunakan sebagai alat bantu yang mendukung pengambilan keputusan, koordinasi dan kendali serta visualisasi dan analisis. Secara teori, penerapan sebuah sistem informasi memang tidak harus menggunakan komputer dalam kegiatannya. Tetapi pada prakteknya tidak mungkin sistem informasi yang sangat kompleks itu dapat berjalan dengan baik jika tanpa adanya komputer. Sistem informasi yang akurat dan efektif, dalam kenyataannya selalu berhubungan dengan istilah “computer-based” atau pengolahan informasi yang berbasis pada komputer.

Sistem informasi berbasis komputer ini meliputi lima bidang, yaitu;

  1. Sistem Informasi Akuntansi (SIA)

Diawali dengan pemanfaatan komputer sebagai alat bantu untuk mengelola transaksi keuangan berbasis akuntansi. Kemudian pemanfaatan komputer meningkat tidak hanya digunakan untuk pengolahan data akuntansi tetapi digunakan untuk mengolah data-data yang menghasilkan output (laporan-laporan) bagi pimpinan/manajer di berbagai level manajemen.

 2. Sistem Informasi Manajemen (SIM)

Merupakan sistem informasi yang digunakan untuk mendukung manajemen. Output dari SIM berupa informasi dalam bentuk laporan-laporan yang disajikan untuk level manajemen tertentu. Karena SIM ini merupakan salah satu sistem informasi yang mendukung kerja manajerial, maka perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan manajemen dimulai dari pembagian level manajemen sampai dengan tipe informasi yang disajikan bagi level manajemen tertentu.

 3. Otomatisasi Perkantoran (Virtual Office)

4. Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (SPPK)

Merupakan sistem informasi yang terdiri dari orang, prosedur, software, database dan peralatan dimana output dari sistem informasi tersebut berupa alternatif-alternatif solusi dari suatu permasalahan yang digunakan oleh para pemimpin/manajer untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Fokus dari SPPK adalah efektifitas pengambilan keputusan ketika menghadapi masalah bisnis yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur. Seperti halnya MIS dan TPS, SPPK juga dirancang untuk membantu organisasi mencapai tujuannya. Keterbatasan sistem pengambilan keputusan

  • Ada beberapa kemampuan manajemen dan bakat manusia yang tidak dapat dimodelkan, sehingga model yang ada dalam sistem tidak semuanya mencerminkan persoalan sebenarnya.
  • Kemampuan suatu SPPK terbatas pada perbendaharaan pengetahuan yang dimilikinya (pengetahuan dasar serta model dasar).
  • Proses-proses yang dapat dilakukan SPPK biasanya juga tergantung pada perangkat lunak yang digunakan.
  • SPPK tidak memiliki kemampuan intuisi seperti yang dimiliki manusia. Sistem ini dirancang hanyalah untuk membantu pengambil keputusan dalam melaksanakan tugasnya

5. Sistem Pakar

Sistem Pakar adalah sebuah sistem informasi yang memiliki intelegensia buatan (Artificial Intelegent) yang menyerupai intelegensia manusia. Sistem pakar mirip dengan DSS yaitu bertujuan menyediakan dukungan pemecahan masalah tingkat tinggi untuk pemakai. Secara umum, sistem pakar (expert system) adalah sistem yang berusaha mengadopsi pengetahuan manusia ke komputer, agar komputer dapat menyelesaikan masalah seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Sistem pakar yang baik dirancang agar dapat menyelelasikan suatu permasalahan tertentu dengan meniru kerja dari para ahli. Dengan sistem pakar ini, orang awampun dapat menyelesaikan masalah yang cukup rumit yang sebenarnya hanya dapat diselesaikan dengan bantuan para ahli. Bagi para ahli, sistem pakar ini juga akan membantu aktivitasnya sebagai asisten yang sangat berpengalaman. Contoh dari sistem pakar diantaranya ; XCON & XSEL, MYCIN, PROSPECTOR, DENDRAL, SOPHIE, FOLIO, DELTA.

 

 

 

Image

AI dapat didefinisikan sebagai suatu mesin atau alat pintar (biasanya adalah suatu komputer) yang dapat melakukan suatu tugas yang bilamana tugas tersebut dilakukan oleh manusia akan dibutuhkan suatu kepintaran untuk melakukannya. Lebih detailnya pengertian AI dapat dipandang dari berbagai sudut pandang antara lain;

  • Sudut pandang kecerdasan

AI akan membuat mesin menjadi “cerdas” (mampu berbuat seperti apa yang dilakukan oleh manusia)

  • Sudut pandang penelitian

bagaimana membuat computer dapat melakukan sesuatu sebaik yang dikerjakan oleh manusia.

  • Sudut pandang pemrograman

AI meliputi studi tentang pemrograman simbolik, penyelesaian masalah (problem solving) dan pencarian (searching)

 

Tujuan dari AI dalam sisi teknologi adalah untuk menyelesaikan permasalahan nyata. Dari sisi ilmiah untuk menjelaskan variasi kecerdasan. AI dapat membantu kita untuk menyelesaikan kesulitan, permasalahan nyata, menciptakan kesempatan baru dalam bisnis, teknologi dan area aplikasi yang lain. AI merupakan gudang untuk menjawab pertanyaan tradisional yang biasa ditanyakn pada ahli bahasa, filosofi, dokter, dsb. Sehingga dengan demikian dapat membantu kita untuk menjadi semakin cerdas. Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan adanya perkembangan dan peluasan lingkup yang membutuhkan kehadiran AI. Karakteristik “cerdas” sudah mulai dibutuhkan diberbagai disiplin ilmu dan teknologi, dan bisa membuat irisan dengan ilmu lain. Lingkup utama aplikasi AI antara lain;

  • Sistem pakar  (Expert system) : Pada expert symtem terdiri berbagai pengatahuan dari seorang pakar dibidang tertentu dan seperangkat aturan yang akan mencari dan mencocokan pengetahuan sampai menemukan solusi suatu masalah.
  • Pengolahan Bahasa Alami (natural language processing) : dengan pengolahan bahasa ini diharapkan user dapat berkomunikasi dengan computer menggunakan bahasa sehari-hari.
  • Pembuktian Teorema : Beberapa sistem AI telah dibuat untuk pembuktian teori dalam bidang geometri dan aljabar, sistem ini dapat membuktikan teori yang tidak dibuktikan oleh manusia dan memberikan bantuan atau saran untuk para ahli matematika untuk pemecahan masalah.
  • Permainan (game playing) ; Studi dibidang game menghasilkan banyak teknik pengacakan yang merupakan bagian inferensi, motor penggerak AI, karna bagian ini mengendalikan semua informasi dan strategi penyelesain masalah.
  • Robot : Perkembangan robotic mendorong studi atau penelitian dibidang pengolahan visual , teknik pemecahan soal atau pengantrolan bagian bagian robot. Ini semua berkaitan dengan rancangan suatu bahasa pemrograman yang lebih tinggi levelnya dan lebih fleksibel.

 Image

 

 

Daftar pustaka:

 

 

NUR AINI SEKAR PUTRI MENTARI

15510110

4PA01

Arsitektur Komputer

Di zaman modern seperti saat ini komputer telah menjadi salah satu alat bantu penting bagi manusia. Komputer sudah menjadi benda canggih umum yang diperlukan manusia untuk membantu kegiatan atau aktivitasnya sehari-hari, komputer tidak lagi jadi barang mewah yang asing bagi manusia. Didalam berbagai bidang tidak dapat dipungkiri bahwa komputer membantu kegiatan manusia menjadi lebih mudah dan sederhana.

 

Pengertian Arsitektur Komputer

Definisi arsitektur yang banyak orang tahu adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut. Oleh karena itu, banyak orang ketika mendengar kata arsitektur mengidentikannya dengan sebuah perencanaan kota, bentuk bangunan, gaya bangunan, atau desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Padahal kata arsitektur umum dipakai diberbagai bidang, yang bermakna gaya konstruksi. Hal ini menegaskan bahwa, arsitektur mencakup, merancang, dan membangun.

Dalam bidang teknik computer, arsitektur komputer adalah konsep perencanaan dan struktur pengoperasian dasar dari suatu sistem komputer. Arsitektur komputer ini merupakan rencana cetak-biru dan deskripsi fungsional dari kebutuhan bagian perangkat keras yang didesain (kecepatan proses dan sistem interkoneksinya). Dalam hal ini, implementasi perencanaan dari masing–masing bagian akan lebih difokuskan, terutama mengenai bagaimana CPU akan bekerja, dan mengenai cara pengaksesan data dan alamat dari dan ke memori cache, RAM, ROM, cakram keras, dll). Arsitektur komputer juga dapat didefinisikan dan dikategorikan sebagai ilmu dan sekaligus seni mengenai cara interkoneksi komponen-komponen perangkat keras untuk dapat menciptakan sebuah komputer yang memenuhi kebutuhan fungsional, kinerja, dan target biayanya.

Image

Secara sederhana arsitektur komputer dapat didefinisikan sebagai gaya konstruksi dan organisasi dari komponen-komponen sistem komputer. Walaupun elemen-elemen dasar komputer pada hakekatnya sama atau hampir semuanya komputer digital, namun terdapat variasi dalam konstruksinya yang merefleksikan cara penggunaan komputer yang berbeda. Arsitektur komputer juga mempelajari atribut-atribut sistem komputer yang terkait dengan seorang programmer dan memiliki dampak langsung pada eksekusi logis sebuah program, contoh : set instruksi, jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan bermacam-macam jenis data (misal bilangan, karakter), aritmetika yang digunakan, teknik pengalamatan, mekanisme I/O.

Arsitektur komputer ini meliputi 3 kategori, yaitu: Set instruksi (ISA), Arsitektur mikro dari ISA, dan Sistem desain dari seluruh komponen dalam perangkat keras komputer.  Ada 2 bagian pokok arsitektur komputer, yaitu:

  • Instructure Set Architecture

Spesifikasi yang menentukan bagaimana programmer bahasa mesin berinteraksi dengan komputer.

  • Hardware System Architacture

Meliputi subsistem hardware dasar yaitu CPU, Memordan I/O system.

 

 Image

 

Tingkatan Dalam Arsitektur Komputer

Ada sejumlah tingkatan dalam konstruksi dan organisasi sistem komputer, yaitu:

  1. Tingkatan Dasar Arsitektur Komputer

Pada tingkatan ini Hardware sebagai tingkatan komputer yang paling bawah dan paling dasar, dimana pada hardware ini “layer” software ditambahkan. Software tersebut berada di atas hardware, menggunakannya dan mengontrolnya. Hardarwe ini mendukung software dengan memberikan atau menyediakan operasi yang diperlukan software.

    2.  Multilayerd Machine

Tingkatan dasar arsitektur komputer kemudian dikembangkan dengan memandang sistem komputer keseluruhan sebagai “multilayered machine” yang terdiri dari beberapa layer software di atas beberapa layer hardware.

Berikut tingkatan layer tersebut :

Image

Keterangan :

  1. Physical Device Layer

Merupakan komponen elektrik dan elektronik yang sangat penting

    2. Digital Logic Layer

Elemen pada tingkatan ini dapat menyimpan, memanipulasi, dan mentransmisi data dalam bentuk represeotasi biner sederhana.

   3. Microprogrammed Layer

Menginterprestasikan instruksi bahasa mesin dari layer mesin dan secaa langsung menyebabkan elemen logika digital menjalankan operasi yang dikehendaki. Maka sebenarnya ia adalah prosesor inner yang sangat mendasar dan dikendalikan oleh instruksi program kontrol primitifnya sendiri yang disangga dalam ROM innernya sendiri. Instruksi program ini disebut mikrokode dan program kontrolnya disebut mikroprogram.

   4. Machine Layer

Adalah tingkatan yang paling bawah dimana program dapat dituliskan dan memang hanya instruksi bahasa mesin yang dapat diinterprestasikan secara langsung oleh hardware

  5. Operating System Layer

Mengontrol cara yang dilakukan oleh semua software dalam menggunakan hardware yang mendasari (underlying) dan juga menyembunyikan kompleksitas hardware dari software lain dengan cara memberikan fasilitasnya sendiri yang memungkinkan software menggunakan hardware tersebut secara lebih mudah.

  6. Higher Order Software Layer

Mencakup semua program dalam bahasa selain bahasa mesin yang memerlukan penerjemahan ke dalam kode mesin sebelum mereka dapat dijalankan. Ketika diterjemahkan program seperti itu akan mengandalkan pada fasilitas sistem operasi yang mendasari maupun instruksi-instruksi mesin mereka sendiri.

  7. Applications Layer

Adalah bahasa komputer seperti yang dilihat oleh end-user.

 

Stuktur Kognisi Manusia

Manusia merupakan makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, karena manusia diciptakan dengan akal pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnnya. Berbicara mengenai akal pikiran, pastilah berhubungan dengan otak dan kognisi seseorang. Kognisi berasal dari kata “cognition” yang berarti pengamatan, pengertian atau mengerti. Beberapa tokoh penting juga ikut mengutarakan definisi menurut fersinya masing-masing diantaranya Gagne yang mengatakan “Koginisi merupakan proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir”. Neisser, mengatakan “cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan”.

Secara singkat kognisi adalah  kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengentahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Dalam psikologi, kognisi merupakan gejala pengenalan yang terdiri dari penghayatan pengamatan tanggapan asosiasi, reproduksi, apersepsi, ingatan, fantasi, berpikir dan intelegensi.

Kognisi berkembang sesuai atau mengikuti perkembangan manusia itu sendiri. Perkembangan kognitif merupakan perkembangan fungsional yang lebih tinggi dari yang bersifat motorik. Perkembangan kognitif akan nampak adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif (cognitive activity = activity of the mind). Pengalaman-pengalaman yang dilewati oleh seseorang dalam hidupnya membantu perkembangan kognitifnya sehingga membentuk berbagai konsep tentang benda, situasi, hubungan, dan sebagainya.

Fungsi kognitif yang paling utama ada dua, yaitu; pengoraginsasian dan adaptasi. Pengorganisasian sebagai fungsi kognitif adalah pensistematisasian berbagai informasi yang diterimanya ke dalam struktur kognitif menjadi lebih berarti. Struktur kognitif dalam hal ini adalah struktur internal yang mengatur interaksi individu dengan lingkungan. Sedangkan adaptasi adalah suatu proses dengan mana orang mencari keseimbangan (equilibrium) antara yang sekarang diketahui dan dipahami dengan segala sesuatu yang akan dihadapi (peristiwa, pengalaman, masalah, dan sebagainya). Adaptasi meliputi dua proses yaitu asimulasi dan akomodasi. Kedua fungsi ini menyimpulkan bahwa kegiatan kognitif melibatkan lebih banyak pengfungsian sistem syaraf (otak).

Otak merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia yang menjadi pusat aktifitas tubuh. Otak mengendalikan semua fungsi tubuh yang ada. Selain penting otak merupakan organ yang paling rumit. Otak terdiri dari 3 bagian penting yang didalamnya terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tiga bagian itu adalah:

  • Otak depan terdiri dari cerebrum, thalamus, dan hypothalamus.
  • Otak tengah terdiri dari tectum dan tegmentum.
  • Otak belakang terbuat dari otak kecil, pons, dan medulla. Seringkali otal kecil, pons, dan medulla disebut bersama-sama sebagai batang otak.

Image

 

Kognisi manusia dibagi menjadi 6 tingkat, yaitu:

  1. Knowledge Level atau Tingkat Pengetahuan : berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb.
  2. Comprehension Level atau Tingkat Pemahaman : dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dan seterusnya.
  3. Application Level atau Tingkat Aplikasi : seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dan sebagainya di dalam kondisi kerja.
  4. Analythical Level Tingkat Analisis : seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit.
  5. Synthesis Level atauTingkat Sintesa : seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan.
  6. Evaluation Level atauTingkat Evaluasi : dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dan sebagainya dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

 Image

 

Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah dijabarkan diatas dapat disimpulkan bahwa komputer merupakan alat canggih yang dibuat berdasarkan penggambaran dari otak manusia, struktur, sistem atau proses pengolahan data, unsur-unsur bagiannya semua sama dengan otak. Struktur komputer merupakan gambaran secara sederhana yang ada di otak, seperti ada hardware dan software beserta bagian-bagian lain didalamnya itu sama seperti halnya bagian-bagian otak, contoh CPU bagai sistem syaraf pusat pada manusia, sebagai pengendali, memproses, dan menyimpan. Pada dasarnya sistem atau proses pengolahan data yang dilakukan oleh komputer dan otak (kognisi) itu pun juga sama, karena pada dasarnya struktur komputer yang dibuat oleh manusia dibuat berdasarkan gambaran struktur atau simulasi dari otak manusia (proses kognisi), yaitu input (stimulus) –> pengolahan data –> output (hasil) –> memori.

 

 

Daftar Pustaka

 

 

NUR AINI SEKAR PUTRI MENTARI

15510110

4PA01

Behavior theraphy merupakan terapi yang berdasarkan teori psikologi, yaitu teori tingkah laku/ behavior yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh behavioral seperti Ivan Pavlov, Skinner, Bandura, Thorndike, dll. Terapi ini berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka. Istilah terapi tingkah laku berasal dari bahasa inggris behavior theraphy yang pertama kali digunakan oleh Jhon D. Krumboln (1964). Krumboln merupakan promoter utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap dunia konseling maupun terapi, meskipun dia melanjutkan aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corak terapi yang memandang hubungan antar pribadi, antara terapis dan klien sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.

Terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar dengan menyertakan penerapan sistematis prinsip-prinsip belajar pada perubahan tingkah laku kea rah cara-cara yang lebih adaptif. Pendekatan ini banyak memberikan sumbangan dalam bidang klinis ataupun pendidikan. Dengan berlandaskan teori belajar modifikasi pelaku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Behavior konseling adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang dilakukan melalui proses belajar. Agar orang bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif dan efisien. Aktivitas inilah yang disebut sebagai belajar.

Terapi tingkah laku dapat digunakan dalam menyembuhkan berbagai  penyimpangan perilaku (maladaptive) menjadi yang adaptif, serta berbagai gangguan tingkah laku dari yang sederhana hingga yang kompleks, seperti gagap, phobia, perilaku kompulsif, penyimpangan seksual, reaksi konversi dan penyimpangan tingkah laku lainnya. Terapi ini dapat dilakukan baik untuk individu maupun kelompok, dan cocok untuk semua kalangan anak-anak, remaja, orang tua, hingga lansia.

 

Konsep Utama Terapi Behavior

Konsep utama terapi tingkah laku ini adalah keyakinan tentang martabat manusia yang sebagai bersifat falsafah dan sebagian lagi becorak psikologis, yaitu:

  • Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah berdasarkan bekal keturunan dan lingkungan (nativisme dan empirisme), terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi cirri-ciri khas kepribadiannya.
  • Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
  • Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola-pola lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola-pola itu dapat diganti melalui usaha belajar yang baru.
  • Manusia dapat memengaruhi perilaku orang lain dan dirinya dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan eksternal dan internal. Kontribusi terbesar terapi behavior adalah bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku. Dasar teori terapi behavior adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi:

  • Belajar waktu lalu hubungannya dengan keadaan yang serupa
  • Keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan lingkungan
  • Perbedaan-perbedaan biologis baik secara genetik atau karena gangguan fisiologik

 

Ciri-ciri Terapi Behavior

  • Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
  • Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
  • Perumusan prosedur treatment yang spesifik dan sesuai dengan masalah, dan telah ditentukan sebelumnya
  • Penaksiran objektif atau hasil-hasil terapi, maksudnya kefektifan terapi dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku khusus yang nyata sebagai bentuk hasil terapi

 

Tujuan Terapi Behavior

Tujuan dari terapi ini merupakan hasil diskusi dan diinginkan antara klien dan terapis, tujuan-tujuan yang diinginkan harus dirinci dan spesifik. Secara umum tujuan terapi ini adalah menciptakan proses baru bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dipelajari, serta mengubah atau memodifikasi perilaku klien yang maladaptif. Secara terperinci tujuan terapi ini adalah sebagai berikut;

  • Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari
  • Membantu klien membuang respon-respon yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
  • Klien belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptive, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.

 

Tahap-tahap Terapi Behavior

Proses terapi ini adalah proses belajar, terapis membantu terjadinya proses belajar tersebut, dengan cara mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya. Terapi ini memiliki empat tahap dalam prosesnya, yaitu:

  1. Melakukan Assesment
  2. Menetapkan tujuan (goal setting)
  3. Implementasi teknik
  4. Evaluasi dan pengakhiran

 

Teknik-teknik Terapi Behavior

Teknik terapi behavior didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk pola tingkah laku) terhadap stimulus, dengan demikian respon-respon yang baru akan dapat dibentuk. Teknik dalam terapi ini dibagi menjadi dua kelompok;

  • Teknik umum; shaping, extinction, reinforcing uncompatible behaviors, imitative learning, contracting, cognitive learning, covert reinforcement
  • Teknik khusus;
  1. Desensitisasi sistematis; teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus.
  2. Teknik implosif; teknik ini berlandaskan kepada paradigma penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus dalam kondisi berulang-ulang tanpa memberikan penguatan.
  3. Latihan asertif; teknik ini diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan menerima kenyataan bahwa menegaskan diri adalah tindakan yang layak benar. Teknik ini membantu orang yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak, dan bentuk lainnya.
  4. Teknik aversi; teknik ini digunakan untuk memodifikasi perilaku yang berlebihan dan perilaku agresif, meredakan gangguan behavioral yang spesifik dengan stimulus yang menyakitkan sampai stimulus yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi ini biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang memualkan.
  5. Pengkodisian operan tingkah laku adalah tingkah laku yang memancar yang mencari ciri organisme yang aktif, yang beroperasi dilingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat.
  6. Relaksasi; merupakan suatu metode untuk membantu mengatasi stress yang muncul akibat masalah sehari-hari melalui peregangan otot (fisik) dan mental.

 

Efektivitas Terapi Behavior

Kelebihan terapi;

  • Terapi ini menekankan bahwa proses terapi dipandang sebagai proses belajar yang akan menghasilkan perubahan perilaku secara nyata.
  • Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas yang besar, karena tujuan terapi dan prosedur yang diikuti untuk sampai pada tujuan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan klien.
  • Pendekatan ini akan membantu individu untuk bisa membekali dirinya untuk mencegah timbulnya persoalan kejiwaan.

Kelemahan terapi;

  • Mungkin mengubah tingkah laku tapi tidak merubah perasaan
  • Mengenyampingkan faktor-faktor yang berhubungan dalam terapi maupun perilaku
  • Mengenyampingkan pengalaman-pengalaman masa lalu yang mungkin menyebabkan atau mempengaruhi tingkah laku saat ini.
  • Tidak memfasilitasi munculnya insight, dalam arti bagi klien yang berpotensi cukup tinggi dan sedang mencari arti dan tujuan hidup mereka, tidak dapat berharap banyak dari terapi ini.
  • Kurangnya kesempatan bagi klien untuk terlibat kreatif dengan keseluruhan penemuan diri atau aktualisasi diri.
  • Kemungkinan terjadi bahwa klien mengalami “depersonalized” dalam interaksinya dengan konselor.

 

 

 

Daftar Pustaka:

  • Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
  • Gunarsa, Singgih. D. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
  • Jones, Richard Nelson. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
  • McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  • Palmer, Stephen. (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Terapi rasional emotif adalah sistem psikoterapi yang mengajari individu bagaimana sistem keyakinannya menentukan yang dirasakan dan dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam kehidupan. Penekanan terapi ini pada cara berpikir mempengaruhi perasaan, sehingga termasuk dalam terapi kognitif. Terapi ini diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis, seorang psikolog klinis. Awalnya terapi ini bernama terapi rasional, namun karena banyak memperoleh anggapan keliru bahwa mengeksplorasi emosi-emosi klien tidak begitu penting bagi Ellis. Sehingga pada tahun 1961 dia mengubah namanya menjadi terapi rasional emotif. Ellis menggabungkan terapi humanistik, filosofis, dan behavioral menjadi terapi rasional emotif (TRE). TRE banyak kesamaan dengan dengan terapi yang berorientasi pada kognisi, perilaku dan perbuatan dimana TRE menekankan pada berpikir, memikirkan, mengambil keputusan, menganalisis dan berbuat. TRE didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan perilaku berinteraksi secara signifikan dan memiliki hubungan sebab akibat timbal balik.

Langkah-langkah Terapi Rasional Emotif

  1. Terapis berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus logis kemudian membantu bagaimana dan mengapa klien sampai pada cara seperti itu, menunjukkan pola hubungan antara pikiran logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan gangguan emosi yang di alami nya.
  2. Menunjukkan kepada klien bahwa ia mampu mempertahankan perilakunya maka akan terganggu dan cara pikirnya yang tidak logis inilah yang menyebabkan masih adanya gangguan sebagaimana yang di rasakan.
  3. Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara berfikir yang tidak logis
  4. Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata

 

Teknik-teknik Terapi Rasional Emotif

Teknik dalam terapi ini dibagi menjadi 3 sub pokok, yaitu;

a)    Teknik emotif

Teknik ini dilakukan untuk mengubah emosi klien. Ini sepenuhnya melibatkan emosi klien saat ia melawan keyakinan-keyakinannya yang irasional. Teknik ini seperti; Rational Emotive Imagery, Humor, Imitasi, Assertive adaptive, Role Playing, Shame-attacking, Force and Vigor.

b)    Teknik kognitif

Teknik ini membantu klien berpikir mengenai pemikirannya dengan cara yang lebih konstruktif. Klien diajarkan untuk memeriksa bukti-bukti yang mendukung dan menentang keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menggunakan tiga kriteria utama: logika, realisme dan kemanfaatan. Teknik ini seperti; Menyingkirkan Kepercayaan Tidak Rasional, Tugasan Kognitif, Changing One’s Langguage, Pengajaran, Persuasif.

c)    Teknik tingkah laku

Teknik ini lebih digunakan khusus untuk mengubah tingkah laku. Teknik ini dinegosiasikan dengan klien atas dasar sifatnya yang menentang, tetapi tidak sampai membuat kewalahan, yaitu, tugas-tugas yang cukup menstimulasi untuk mewujudkan perubahan terapeutik, namun tidak terlalu menakutkan karena justru akan menghambat menjalankan tugas-tugas tersebut. Teknik ini seperti; Teknik Peneguhan (Reinforcement), Desintisasi Bersistematik, Teknik Modelling, Teknik Releksasi.

 

Tujuan Terapi Rasional Emotif

Ellis mengatakan tujuan utama terapi ini adalah untuk membantu individu-individu menanggulangi problem-problem perilaku dan emosi mereka untuk membawa mereka kekehidupan yang lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih terpenuhi. Secara sederhana dan umum tujuan terapi ini adalah membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis serta realisitik sebagai penggantinya. Secara terperinci terapi ini bertujuan untuk;

  • Memperbaiki dan mengubah segala perilaku, sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
  • Menghilangkan gangguan emosional yang merusak seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.
  • Untuk membangun Self Interest (minat), Self Direction (pengendalian/ pengarahan diri), Tolerance (toleransi), Acceptance of Uncertainty (kesediaan menerima ketidakpastian), Fleksibel, Commitment (komitmen terhadap sesuatu), Scientific Thinking (berpikir logis), Risk Taking (keberanian mengambil resiko), dan Self Acceptance (penerimaan diri) klien.

 

Efektivitas Terapi Rasional Emotif

Kelebihan terapi ini yaitu;

  • Membantu klien untuk siap menghadapi kenyataan
  • Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien, menyadarkan klien terhadap pikiran/nilai yang irasional yang membuatnya bermasalah. Dengan itu perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
  • Lebih rasional dalam membantu klien. Kaedah pemikiran logik yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi gejala yang lain.
  • Klien merasakan diri mereka mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir, sehingga dapat menyadarkan klien akan kekuatan dan kelemahan diri serta menyikapinya secara tepat

 

Kekurangan terapi ini, yaitu;

  • Konselor lebih otoritatif. Sehingga klien terkesan dipaksa untuk melakukan apa yang selama ini ia merasa tidak sanggup untuk dilakukannya.
  • Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logik dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu geliga otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika. Terapi ini terbatas pada individu dewasa, tidak dapat diterapkan pada anak dan remaja.
  • Ada setengah klien yang begitu terpisah dari realiti sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
  • Konselor terang-terangan dalam menyerang irasional klien. Padahal ada juga klien yang terlalu berprasangka terhadap logik, sehingga sukar untuk mereka menerima analisa logik.
  • Ada juga setengah klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya didalam hidupnya, dan tidak mau membuat perubahan apa-apa lagi dalam hidup mereka.

 

Daftar Pustaka:

  • Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
  • McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  • Latipun. 2008. Psikologi Konseling Edisi Ketiga. Malang: UMM Press.
  • Palmer, Stephen. (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Analisis transaksional adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada kepribadian, komunikasi, dan relasi manusia atau hubungan interaksional. AT berasal dari karya seorang psikiater bernama Eric Berne sekitar tahun 1950. Awalnya Berne mendapatkan pelatihan sebagai psikoanalis Freudian, oleh karena itu AT berakar dari tradisi psikodinamika. Selain itu AT juga berakar dalam suatu filsafat anti deterministic yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. AT didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.

Pada awalnya model ini digunakan untuk menganalisis pola-pola komunikasi yang digunakan orang-orang ketika mereka berelasi dalam pasangan atau kelompok. Oleh karena itu, AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri

Anggapan pokok AT adalah bahwa dengan praktik dan pelatihan yang sesuai, terapis bisa menilai pengalaman internal seseorang dari perilaku eksternalnya, atau berdasarkan perilaku yang dapat diamati dari orang tersebut. Terapi AT digolongkan dalam pendekatan humanistik pada perubahan personal, karena penekanannya pada tanggung jawab personal, relasi setara antara klien dan terapis, dan nilai instrinsik orang tersebut.

Pendekatan AT banyak digunakan tidak hanya dalam bidang konseling dan psikoterapi, tapi juga dalam bidang lain seperti pelatihan pendidikan, manajemen dan komunikasi. Pendekatan AT cocok digunakan untuk membantu klien dalam menangani berbagai tipe dan tingkat problem dan disfungsi. Mencakup situasi problematic sederhana, melalui reaksi stress sementara, hingga kesulitan berelasi dan emosi yang jauh mengakar serta gangguan kepribadian. Teknik-teknik pendekatan AT bisa diterapkan pada hubungan orang tua-anak, belajar dikelas, pada konseling dan terapi individual serta kelompok dan pada konseling perkawinan.

Teknik terapi analisis transaksional

Menurut Corey secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi analisis transaksional, yaitu:

a)    Permission (pemberian kesempatan), dalam proses terapi, pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat;

  • menggunakan waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri
  • mengalami semua status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan kemampuan Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupan
  • tidak memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.

b)    Protection (proteksi), klien mungkin akan merasa ketakutan setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan perintah-perintah orang tua dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego Anak.

c)    Potency (potensi), maksudnya seorang terapis tahu apa yang akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu kemampuan terapis terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut efektif secara optimal.

Menurut Berne ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu : interogasi, spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi, interprestasi, kristalisasi.

Tujuan terapi analisis transaksional

Terapi analisis transaksional sebenarnya ber­tujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-­siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan). Berne menegaskan bahwa tujuan AT bukanlah mendapatkan suatu wawasan, melainkan penyembuhan. Beberapa terapis menyamakan penyembuhan dengan penyelesaian kontrak perawatan antara klien dan terapis. Namun Berne sendiri tidak melihat penyembuhan sebagai peristiwa tunggal, namun progresif yang berlangsung dalam empat tahap, yaitu:

  • Kontrol sosial

Pada tahap ini klien mungkin masih merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan sehingga ia datang ke terapis, namun ia telah bisa mengendalikan perilaku disfungsional dalam interaksinya dengan orang lain.

  • Penyembuhan gejala

Pada tahap ini klien bisa mengalami kelegaan ketidaknyamanan subjektif seperti kecemasan, depresi atau kebingungan.

  • Penyembuhan transferensi

Pada tahap ini klien sudah mulai bisa meninggalkan proses terapi, namun masih terkait dengan terapisnya.

  • Penyembuhan naskah

Pada tahap ini klien dinilai sudah berubah secara substansial dan permanen dan tak lagi mengandalkan pola-pola terapi dan masuk ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.

Eric Berne juga mengajukan gagasan bahwa tujuan perubahan pribadi adalah otonomi. Maksudnya, diharapkan dengan terapi ini klien menjadi mandiri, dapat mengimplikasikan kemampuan untuk memecahkan problem dengan menggunakan sumber daya diri sendiri secara utuh untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam merespons realitas yang ada. Komponen-komponen otonomi adalah sebagai berikut;

  • Kesadaran artinya kemampuan untuk mengalami berbagai hal
  • Spontanitas artinya kemampuan untuk hidup dengan bebas, berdasarkan pilihan keadaan ego.
  • Kedekatan dengan orang lain, dalam pandangan AT artinya ekspresi terbuka terkait keinginan, perasaan, dan kebutuhan tanpa berpura-pura atau memanipulasi.

 

Menurut Corey, tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi hidupnya.

Menurut Lutfi Fauzan, tujuan terapi analisis transaksional dapat dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

  1. Tujuan umum terapi analisis transaksional, ialah membantu individu mencapai otonomi. Individu dikatakan mencapai otonomi bilamana ia memliki Kesadaran, Spontanitas, Keakraban.
  2. Tujuan khusus terapi analisis transaksional, yaitu sebagai berikut;
  • Terapis membantu klien membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh negatif Status Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
  • Terapis membantu klien menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari perintah-perintah orang tua.
  • Terapis membantu klien untuk menggunakan semua status egonya secara tepat.
  • Terapis membantu klien untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi kehidupan “orang kalah”.

 

Efektivitas terapi Analisis Transaksional

Kelebihan:

  1. Para terapis dapat dengan mudah menggunakannya.
  2. Menantang klien untuk lebih sadar akan keputusan awal mereka.
  3. Integrasi antara konsep dan praktek analisis transaksional dengan konsep tertentu dari terapi gestalt sangat berguna karena terapis bebas menggunakan prosedur dari pendekatan lain.
  4. Memberikan sumbangan pada terapi multikultural karena terapi diawali dengan larangan mengaitkan permasalahan pribadi dengan permasalahan keluarga dan larangan mementingkan diri sendiri

Kelemahan:

  1. Banyak terminologi atau istilah yang digunakan dalam analisis transaksional yang cukup membingungkan.
  2. Penekanan analisis transaksional pada struktur merupakan aspek yang meresahkan.
  3. Konsep serta prosedurnya dipandang dari perspektif behavioral, tidak dapat di uji keilmiahannya
  4. Klien bisa mengenali semua hal tetapi mungkin tidak merasakan dan menghayati aspek diri mereka sendiri.

 

 

Sumber:

  • Palmer, Stephen. (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Corey, G. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco
  • Fauzan, Lutfi. (2001). Pendekatan-pendekatan Konseling Individual. Malang: Elang Mas

Terapi person centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

Berdasarkan sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan.

Pendekatan terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.

Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.

 

Ciri-Ciri Person-Centered Therapy

  1. Terapi berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan lebih sempurna.
  2. Menekankan medan fenomenal klien. Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Klien tidak lagi menolak atau mendistorsi pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.
  3. Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkan bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoterapeutik terjadi karena hubungan terapis dan klien.
  4. Terapi ini tidak dilakukan dengan suatu sekumpulan teknik yang khusus. Tetapi pendekatan ini berfokus pada person sehingga terapis dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

 

Teknik-Teknik Person-Centered Therapy

Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;

  • Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.

 

Tahap-Tahap Person-Centered Therapy

Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu; Pertama, tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu;

  1. klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
  3. pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
  4. klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.

 

Tujuan Person-Centered Therapy

Pada terapi ini Rogers tidak mengkhususkan tujuan untuk satu pemecahan masalah. Tapi untuk membantu klien dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mereka, sehingga klien dapat lebih baik dalam memahami, menerima serta mengatasi masalah mereka saat ini dan masa depan. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam terapi ini, sebab terapis digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada klien untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri. Bagi Rogers pada dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep inti tujuan terapi, yaitu;

a.    Keterbukaan pada pengalaman

Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.

b.    Kepercayaan pada organisme sendiri

Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.

c.    Tempat evaluasi internal

Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

d.    Kesediaan untuk menjadi satu proses.

Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

 

Efektivitas Person-Centered Therapy

Terapi person center bisa efektif apabila terjalin hubungan yang baik antara terapis dan klien. Hubungan yang baik ini mengandung tiga unsur penting yaitu penerimaan yang hangat, keselarasan dan kesejatian, serta empati yang akurat. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari terapi ini, maka perubahan kepribadian mengikuti model “jika-maka” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: syarat-syarat, proses, dan hasil. Jika syarat-syarat itu dipenuhi, maka proses akan terjadi. Jika proses terjadi, maka hasil-hasilnya pun akan muncul. Supaya terapi dapat berhasil, maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi, yaitu:

  • Dua orang berada dalam hubungan psikologis
  • Yang pertama, mereka yang disebut klien, berada dalam status tidak menentu, rapuh, dan cemas
  • Orang kedua yang disebut terapis, berada dalam keadaan selaras atau terintegrassi dalam berhubungan
  • Terapis mengalami unconditional positive regard atau merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap pasien
  • Terapis memperlihatkan pemahaman yang akurat dan empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) klien dan berusaha mengkomunikasikan pemahamannya itu kepada pasien
  • Terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan yang paling minim.

Terapi ini dikatakan berhasil atau efektif untuk klien jika klien dapat menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri sampai tujuannya itu tercapai sehingga dapat menjadi manusia yang berfungsi penuh. Ada beberapa kelebihan dari terapi ini, yaitu;

  • Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
  • Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada sikap terapi
  • Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan optimis
  • Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi, selain itu klien diberikan peluang yang lebih luas untuk mendengar dan didengar
  • Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
  • Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok

Sedangkan kekurangan dari terapi adalah sebagai berikut;

  • Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana dan dalam tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu
  • Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
  • Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
  • Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik mendengar dan merefleksi.
  • Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah
  • Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
  • Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah praktisi terkadalang menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi person-centered.

 

 

DAFTAR PUSTAKA:

  • Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
  • Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Terapi eksistensial humanistik merupakan terapi yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan pada pemahaman filosofis tentang menjadi manusia yang utuh, apa makna menjadi manusia, dan apa makna keberadaannya. Terapi ini berakar pada filsafat eksistensial. Oleh karena itu terapi ini berawal dan berkembang dari filsuf-filsuf eksistensial, seperti Friedrich Nietzsche dan Søren Kierkegaard. Namun Martin Heidegger lah yang merupakan tokoh pendiri eksistensialisme yang berpengaruh besar pada konseling dan psikoterapi eksistensial. Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam psikoterapi, filsafat eksistensinya diangkat dan dijadikan acuan oleh psikiatris dari Swiss, yaitu Ludwig Binswanger (1881) dan Medard Boss (1903) yang mereka gunakan dalam memahami kesulitan klien.

Dalam perkembangannya terapi ini dipelopori oleh banyak tokoh berpaham eksistensial seperti Victor Frankl, Rollo May, Irvin Yalom, James Bugental. Eksistensialisme bersama-sama dengan psikologi humanistik, muncul untuk merespon dehumanisasi yang timbul sebagai efek samping dari perkembangan industri dan urbanisasi masyarakat. Pada waktu itu banyak orang yang membutuhkan kekuatan untuk mengembalikan sense of humanness disamping untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebermaknaan hidup.

Menurut Kartini Kartono dalam kamus psikologinya mengatakan bahwa terapi eksistensial humanistic adalah salah satu psikoterapi yang menekannkan pengalaman subyektif individual kemauan bebas, serta kemampuan yang ada untuk menentukan satu arah baru dalam hidup. Sedangkan menurut W.S Winkel, terapi eksistensial humanistik adalah konseling yang menekankan implikasi-implikasi dan falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan manusia dibumi. Terapi ini berfokus pada situasi kehidupan manusia dialam semesta, yang mencakup tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin. Terapi ini memberikan kajian psikologis untuk mengungkap eksistensi manusia pada taraf empiris, terutama berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri.

Terapi eksistensial humanistik ini sangat cocok untuk orang-orang yang mempunyai masalah-masalah berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial serta berusaha memahami keberadaan klien dalam dunia kehidupannya. Secara kodrat eksistensi manusia, terapi ini dapat bermanfaat bagi semua orang karena dilakukan dengan pendekatan eksistensial yang diarahkan pada situasi tertentu klien. Namun lebih spesifik terapi ini dapat bermanfaat bagi mereka yang ingin merevaluasi diri, melihat kembali cara mereka menjalani kehidupannya, mengeksplorasi pilihan-pilihan yang tersedia bagi dirinya, dan mengetahui tujuan atau apa yang mereka inginkan dimasa depan.

 

Ciri-ciri Terapi Eksistensial Humanistik

  1. Eksistensialisme bukanlah suatu aliran melainkan suatu gerakan yang memusatkan penyelidikannya manusia sebagai pribadi individual dan sebagai ada dalam dunia.
  2. Adanya dalil-dalil yang melandasi, yaitu;
  • Setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia dan dalam bereaksi terhadap dunia
  • Manusia sebagai pribadi tidak bisa dimengerti dalam kerangka fungsi-fungsi atau unsur-unsur yang membentuknya
  • Bekerja semata-mata dalam kerangka kerja stimulus respons dan memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi seperti penginderaan, persepsi, belajar, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan tingkah laku emosional tidak akan mampu memberikan sumbangan yang berarti kepada pemahaman manusia

3. Berusaha melengkapi, bukan menyingkirkan dan menggantikan orientasi-orientasi yang ada dalam psikologi

4. Sasaran eksistensial adalah mengembangkan konsep yang komperehensif tentang manusia dan memahami manusia dalam keseluruhan realitas eksistensialnya, seperti pada kesadaran, perasaan, dan pengalaman individu.

5. Tema-temanya adalah hubungan antar manusia, kebebasan, dan tanggung jawab, skala nilai-nilai individual, makna hidup, penderitaan, keputusan, kecemasan, dan kematian.

 

Metode atau Teknik Terapi Eksistensial Humanistik

Dalam terapi eksistensial humanistik ini tidak memiliki metode yang siap pakai seperti terapi lain. Dalam terapi ini para terapis bisa menggunakan beberapa metode terapi atau bahkan menggabungkannya. Beberapa orang eksistensialis mengesampingkan metode, karena mereka lihat itu semua memberi kesan kekakuan, rutinitas, dan manipulasi. Fokus terapi ini adalah pada situasi hidup klien pada saat itu, dan bukan pada menolong klien agar bisa sembuh dari situasi masa lalu. Biasaya terapis eksistensial menggunakan metode yang mencakup ruang yang cukup luas, bervariasi bukan saja dari klien ke klien, tetapi juga dengan klien yang sama dalam tahap yang berbeda dari proses terapeutik.

Sehingga sering kali para terapis mengadopsi metode fenomenologis yang tidak menganggap semua hal bisa diterima begitu saja, tetapi semua hal perlu dipertanyakan. Terapis diminta menjadi naïf, memiliki sikap terbuka, dan tidak berasumsi bahwa ia tahu dan paham segala hal yang terjadi atau yang dirasakan klien. Terapis harus dapat mengeyampingkan pemahaman yang diperolehnya, menanggalkan prasangka dan bias, terapis harus mendorong klien untuk bisa bertindak pada dirinya sendiri. Dengan begitu terapis dapat mengetahui apapun yang terjadi dengan klien dan lebih fokus pada masalah klien, memperoleh pemahaman yang lebih baik, sehingga mendapat kejelasan yang lebih besar tentang klien.

Namun disisi lain terapi eksistensial humanistik juga merekomendasikan beberapa teknik khusus seperti menghayati keberadaan dunia objektif dan subjektif klien, pengalaman pertumbuhan simbolik (suatu bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi simbolik dari pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi, pengungkapan makna, dan pertumbuhan pribadi).

Proses terapeutik meliputi tiga tahap, yaitu;

  1. Terapis membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Terapis mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
  2. Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
  3. Berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan

 

Tujuan Terapi Eksistensial Humanistik

Tujuan dari terapi eksistensial humanistik, yaitu:

  • Membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan hidup manusia sendiri.
  • Menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan.
  • Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi.
  • Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dan bertanggung jawab atas arah kehidupan sendiri.
  • Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik: (1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan (3) memikul tanggung jawab untuk memilih.

 

Efektivitas Terapi Eksistensial Humanistik

Terapi ini dikatakan berhasil jika klien telah mendapatkan eksistensinya, memahami kebermaknaannya dalam hidup, serta merasa menjadi manusia utuh. Dalam hal atau kasus-kasus yang spesifik terapi ini dikatakan efektif apabila klien dapat menyadari, memahami, dan menerima keadaan diri sepenuhnya, dapat secara bebas dan bertanggung jawab dalam memilih dan memutuskan, serta mengetahui tujuan dan keinginan dalam hidupnya.

Dalam pelaksanaannya terapi ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu terapi ini dapat lebih fokus pada masalah klien, lebih membebaskan klien, tidak kaku dalam melaksanakan terapi, serta lebih membuat klien menemukan caranya sendiri untuk menangani masalahnya. Namun hal ini juga menjadi kelemahan terapi ini karena tidak menggunakan metode yang khusus siap pakai, sehingga terapi ini tidak berstruktur dan terlalu terbuka. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan, perasaan ketidakpastian serta kecemasan bagi klien-klien yang mengharapkan keamanan dalam kehidupan yang mudah.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Corey, Gerald. 1995. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.
  • Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
  • Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Psikoanalisa secara umum berarti suatu pandangan tentang manusia, dimana ketidaksadaran memegang peranan sentral. Psikoanalisa memandang kejiwaan manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan yang menimbulkan konflik. Konflik timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, baik dari dorongan yang disadari maupun yang tidak disadari. Tokoh utama dari psikoanalisa adalah Sigmund Freud. Teori dan teknik Freud yang membuatnya termasyhur adalah upaya penyembuhan mental pasiennya yang dikenal dengan istilah Psychoanalysis dan pandangan mengenai peranan dinamis ketidaksadaran dalam hidup psikis manusia. Psikoanalisa sebagai teori dari psikoterapi menguraikan bahwa gejala neurotik pada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan mengenai hal-hal yang traumatik pada masa kanak-kanak yang ditekan.

Terapi psikoanalisa adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini. Teknik ini menekankan menggali seluruh informasi permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh klien. Didalam terapi psikoanalisa ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara terapis dan klien, terapis harus bisa menjaga hubungan ini agar klien dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan bisa rileks menceritakan permasalahan serta tujuannya untuk menemui terapis.

Terapi psikoanalisa biasa digunakan atau diterapkan untuk orang-orang dengan masalah yang berkaitan dengan konsep utama dari psikoanalisa seperti adanya alam bawah sadar pada manusia yang mampu mendorong 3 prinsip dasar dari psikoanalisa sendiri (Id, Ego, Super Ego), hal kejiwaan yang merupakan bagian kesadaran (consciousness) dan ketidaksadaran (unconsiousness), serta mengedepankan pengaruh pengalaman-pengalaman dimasa lalu. Contoh beberapa masalah yang dihadapi antara lain: masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, masalah yang berhubungan dengan akademik, depresi, kecemasan, trauma, dan masalah dimasa lalu yang mengganggu fungsi seseorang melakukan aktifitasnya sehari-hari.

Dalam melakukan terapi psikoanalisa ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut;

Asosiasi Bebas

Asosiasi bebas sebagai teknik utama dalam psikoanalisis. Salah satu pasien Freud, menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Maksudnya suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas dibenaknya, termasuk mimpi-mimpi, berbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yang tidak disadari. Dalam tehnik ini Freud menggunakan Hipnotis untuk mendapatkan data-data dari klien mengenai hal-hal yang dia pikirkan dialam bawah sadarnya, dengan tehnik ini klien dapat mengutarakan apapun yang dia rasakan tanpa ada yang disembunyikan sehingga psikoterapis dapat menganalisis masalah apa yang sebenarnya terjadi pada klien. Penerapan metode ini dilakukan dengan posisi klien berbaring diatas dipan/sofa sementara terapis duduk dibelakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas. Dalam hal ini terapis fokus bertugas untuk mendengarkan, mencatat, menganalisis bahan yang direpres, memberitahu/membimbing pasien memperoleh insight (dinamika yang mendasari perilaku yang tidak disadari).

Interpretasi atau Penafsiran

Interpretasi adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi dan analisis transparansi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi interpretasi adalah membiarkan ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang tersembunyi atau proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien. Analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan berbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap berbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.

Analisis Mimpi

Studi Freud yang mendalam tentang mimpi melahirkan pandangan-pandangan kritisnya tentang hal ini. Baginya mimpi merupakan perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar dan bersifat halusinasi atas keinginan-keinginan yang terpaksa ditekan. Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Bagian teori tentang mimpi yang paling hakiki dan vital bagi Freud adalah adanya kaitan antara distorsi mimpi dengan suatu konflik batiniah atau semacam ketidakjujuran batiniah. Oleh karena itu Freud mencetuskan teknik analisis mimpi. Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk membuka hal-hal yang tidak disadari dan membantu klien untuk memperoleh pemahaman kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Pada teknik ini biasanya para psikoterapis memfokuskan mimpi-mimpi yang bersifat berulang, menakutkan dan sudah pada taraf mengganggu. Tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung.

Analisis dan interpretasi resistensi

Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut. Analisis dan penafsiran resistensi, ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya, terapis meminta klien menafsirkan resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam yang akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan hal-hal yang tidak disadarinya.

Analisis dan interpretasi transferensi

Transferensi adalah pengalihan sikap, perasaan dan khayalan pasien. Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat dimana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan dia mengubah masa kini dan mereaksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibunya atau ayahnya ataupun siapapun. Transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketidaksadaran pasien karena alat ini mendorong klien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya. Teknik analisis transferensi dilakukan agar klien mampu mengembangkan tranferensinya guna mengungkap kecemasan-kecemasan yang dialami pada masa lalunya (masa anak-anak), sehingga terapis punya kesempatan untuk menginterpretasi tranferen. Dan pada teknik ini terapis menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif serta tidak memberikan saran. Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: saat kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

 

Terapi psikoanalisa ini dapat dihentikan atau dianggap selesai saat klien mengerti akan kenyataan yang sesungguhnya, alasan mengapa mereka melakukan perilaku abnormal, dan menyadari bahwa perilaku tersebut tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka sadar untuk menghentikan perilaku itu. Terapi psikoanalisa bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga segala sumber permasalahan yang ada didalam diri individu yang semulanya tidak sadar menjadi sadar, mengatasi tahap-tahap perkembangan tidak terpecahkan, membantu klien menyesuaikan dan mengatasi masalahnya, rekonstruksi kepribadian serta meningkatkan kontrol ego sehingga dapat menghadapi kehidupan yang realita, dan mengubah perilaku klien menjadi lebih positif.

Terapi psikoanalisa ini lebih efektif digunakan untuk mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu pengalaman-pengalaman masa lalu pada diri klien. Apalagi terapi ini memiliki dasar teori yang kuat. Terapi ini bisa membuat klien mengetahui masalah apa yang selama ini tidak disadarinya. Namun terapi ini tetap memiliki kekurangan seperti diperlukan waktu yang panjang dalam melaksanakan terapi, memakan biaya yang banyak, dan memungkinkan klien menjadi jenuh saat terapi.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Gerald, Corey. (2005). Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy. Thompson learning: USA.
  • Palmer, Stephen. (2011). Konseling Psikoterapi diterjemahkan dari Introduction to Counselling and Psychotherapy. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
  • D.Gunarsa, Prof.DR.Singgih. (1992). Konseling dan Psikoterapi. Gunung Mulia: Jakarta.
  • Hartosujono. Diktat Psikologi. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa: Yogyaka

 

 

NUR AINI SEKAR PUTRI M

15510110

3PA01

PENGERTIAN MULTIKULTURALISME

Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.  Istilah multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda. Selanjutnya dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality) mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu (many)”, keragaman (diversity) menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan, dan multikultural (multicultural) itu sendiri.

Secara epistmologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

Pengertian multikulturalisme mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau plural, dan “kulural” yang berarti  kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other).

Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Pengertian dari Hilda ini mengajak kita untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk bekerjasama secara positif dengan yang berbeda. Disamping untuk terus mewaspadai segala bentuk-bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri. Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay, Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Dari gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas, maka dapat  dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang public. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh Negara.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme’ (multiculturalisme)-meskipun berkaitan dan sering disamakan-adalah kecenderungan yang berbeda dengan pluralisme. Multikulturalisme adalah sebuah relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas (minority groups) vs mayoritas (mayority group), yang di dalamnya ada perjuangan eksistensial bagi pengakuan, persamaan (equality), kesetaraan, dan keadilan (justice).

 

SEJARAH MULTIKULTURALISME

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa inggris (English-speaking countries) dimulai di Kanada pada tahun 1079-an. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya., sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial diantara elit. Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu;

Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Kedua, (gelombang kedua) adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform (indigeneous people), post-kolonialisme,  globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme, post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.

Untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu;

  1. pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.  Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
  2. perbedaan budaya merupakan representasi dari complement nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relations sekaligus prejudiced dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya joke yang berhak memaksakan budayanya kepada complement budaya lain.
  3. pada dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.

 

JENIS-JENIS MULTIKULTURALISME

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktek multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh membedakan 5 macam multikulturalisme, yaitu:

  1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
  2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
  3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
  4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan.
  5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

 

 

 

Sumber:

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203877-pengertian-multikultural/#ixzz2CGSbdgUo

http://mohkusnarto.wordpress.com/masyarakat-multikulturalisme/

http://multinalarisme.blogspot.com/2010/01/multikulturalisme-pengertian.html

www.wikipedia.org

 

 

NUR AINI SEKAR PUTRI M

15510110

3PA01

Sejak dulu kala, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman proses akulturasi telah terjadi diberbagai daerah di dunia. Proses akulturasi dapat terjadi karena adanya kontak atau interaksi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, antara satu subjek/hal dengan subjek lainnya. Dari dulu banyak para ahli sosiologi atau antropologi yang mengkonsepkan proses akulturasi sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Proses akulturasi berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Hal itu disebabkan adanya unsur-unsur budaya asing yang diserap secara selektif dan ada unsur-unsur budaya yang ditolak sehingga proses perubahan kebudayaan melalui akulturasi masih mengandung unsur-unsur budaya lokal yang asli. Akulturasi adalah satu pola perubahan dimana terdapat tingkat penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dapat menimbulkan perubahan dalam kedua kebudyaan. Penyatuan di sini tidak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak daripada perbedaannya, tetapi hanya berarti bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin serupa dibanding dengan sebelum terjadi kontak antara keduanya.

Selama ini istilah alkuturasi diidentikkan dengan masalah budaya. Konsep akulturasi yang banyak dipahami orang hanya berfokus pada akulturasi budaya saja. Padahal didalam proses akulturasi itu sendiri adapula unsur-unsur lain seperti psikologis manusia yang terlibat didalam proses tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa hampir setiap lini dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari psikologi. Oleh karena itu seorang pakar bernama Graves membedakan akulturasi menjadi dua bagian, yaitu akulturasi dalam tingkatan komunitas (group level phenomenon) dan akulturasi psikologis (psychological acculturation). Akulturasi dalam tingkatan komunitas menekankan pada perubahan budaya sebuah komunitas, perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok.

Sedangkan akulturasi psikologis menekankan pada perubahan psikologis individu. Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut, yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Kedua komponen tersebut jarang dapat dilakukan dengan sempurna dalam satu kegiatan, tetapi lebih sering keduanya dilakukan secara selektif, yang akan menghasilkan dua sikap, mempertahankan atau berubah. Dalam konteks akulturasi psikologis dari komponen perilaku dalam konsekuensi melindungi kebudayaannya, subjek melakukan strategi integrasi. Integrasi didefinisikan sebagai budaya luar (cultural maintenance) yang berkombinasi dengan budaya lokal (host society). Dengan kata lain, individu tetap memegang budayanya tetapi bersamaan dengan hal tersebut individu ingin turut berpartisipasi.

Jadi kesimpulannya akulturasi psikologis, merupakan sebuah bentuk dari kondisi psikologis individu/kelompok dalam proses akulturasi. Dimana, sebuah kebudayaan baru yang masuk ke dalam kebudayaan lama namun tidak menghilangkan kebudayaan aslinya/lama. Kondisi tersebut pasti akan sangat memberikan dampak besar bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka akan menjalani sebuah penyesuaian yang baru lagi, tetapi tidak merubah kebiasaan lama mereka. Hal ini tentu sangat berpengaruh bagi kejiwaan mereka, atau keadaan psikis mereka. Lingkungan serta budaya sangat memiliki pengaruh besar pada kondisi psikologis individu, karena dua hal tersebut merupakan faktor eksternal untuk kesejahteraan individu dalam menjalankan kehidupannya.

 

 

Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi

http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi

http://plo-psikologi.ugm.ac.id/images/foto/CF73325448518165-15246.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25522/5/Chapter%20I.pdf

 

 

NUR AINI SEKAR PUTRI M

15510110

3PA01



    • Yuli: waw keren aini....:-)
    • Intan: thaks ya gan infonya.. sangat bermanfaat buat saya dan org lain yg ingin menegtahui tentang seputeran domain name, windows hosting.. Mmapir juga yuk k
    • Dea Riskanadira: thank you yaw tas info ini . . ni sngat mbntu bwt tgas skul . . mdah"n da info yg lbh brmnfaat lgi bwt smua x . . :) ^_^

    Categories